Sabtu, 31 Oktober 2009

Lomba Sastra Tutur di PIM








Siswa SMPN 10 Palembang mengikuti lomba tradisi tutur siswa SMP se-Sumsel. Memang tidak menjadi juara, namun lumayan lah....



Tradisi Tutur Masih Diminati Anak Daerah

Palembang: Tradisi tutur ternyata masih diminati anak-anak. Terlihat dari antusias siswa SMP se-Sumsel mengikuti Lomba Tutur Sastra Lisan siswa SMP se-Sumsel yang di gelar di Atrium Palembang Indah Mal (PIM) selama dua hari lalu.

Sedikitnya 67 siswa dari berbagai SMP di Sumsel mengirimkan utusannya. Dari 15 kabupaten/kota di Sumsel hanya tiga yang tidak mengirim, yakni Muba, Pagaralam, dan OKI.

Tampil di panggung, anak-anak ini tidak canggung lagi. Meski memang ada sebagian anak yang terlihat tidak hapal naskah cerita atau ada yang tampil seadanya.

Tetapi sebagian tampil memikat, dengan gaya penuturan yang menarik, dilengkapi dengan aksesoris pendukung cerita serta berpakaian adapt atau.

Berbagai cerita lisan dibawakan, mulai dari kisah asmara Pulau Kemarau, sejarah perahu bidar, Si Mata Empat dan si Pahit Lidah, Bujang Jelihim, Bujang Kurap, atau beberapa legenda dari daerah asal mereka.

Dari even ini terlihat bahwa anak-anak ternyata masih bisa menerima dan melestarikan sastra local dan tradisi local. Itulah memang yang diharapkan bias terus dikembangkan dari even ini, seperti dikemukakan Abu Hanifah, Kasi Pendidikan Anak Usia Dini kerika menutup kegiatan mewakili Kepala Dinas Pendidikan Sumsel, Edi Karyana yang berhalangan hadir.

“Kami berharap melalui pelestarian dan pengembangan cerita rakyat anak-anak dapat menyerap tata nilai yang bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Ketua Tim Juri, Yudhy Syarofi. Menurutnya, melalui even ini diharapkan memang akan dapat juga ditemukan sosok atau figure anak-anak yang bias menularkan tutur cerita rakyat. Sehingga, anak-anak yang lai juga semakin terpikat.

Dari segi kuantitas, memang peserta berkurang disbanding tahun lalu yang mencapai lebih dari 120 peserta. Tetapi dari minat dan antusias peserta serta kemampuan masih bisa diacungi jempol.
Dari hasil lomba yang digelar selama dua hari Senin-Selasa (27-28/7), terlihat juara pertama hingga juara ketiga didominasi peserta dari daerah. “Ini menunjukkan memang ternyata kreativitas dan kemampuan bercerita tidak semata ditentukan pendidikan formal. Anak-anak di daerah memang masih punya banyak waktu untuk bermain dan mereka bisa mengasah kemampuan serta kreativitas. Berbeda dengan anak-anak di kota yang waktunya sudah tersita untuk kegiatan belajar,” ujar Yudhi.
Tim juri lainnya, Yose Ilyas juga menambahkan bahwa tradisi tutur dan budaya lokal memang masih terlihat kental di daerah. “Bagaimana anak-anak masih punya kebiasaan bertutur sapa dan menyampaikan sesuatu dengan memperhatikan tradisi dan kebiasaan. Berbeda dengan anak-anak kota yang sudah terpengaruh teknologi. Game online, main play station. Lalu di luar itu, sibuk les, bimbingan belajar, dan beragam aktivitas sekolah lainnya,” timpalnya.
Namun beruntung, di tengah persoalan itu, anak-anak kota masih punya minat terhadap tradisi cerita rakyat. Terlihat dari banyaknya peserta yang ikut, didominasi peserta dari Palembang.

Hanya saja, yang menang memang diborong peserta dari daerah. Juara pertama, Ari Fadli dari SMPN 2 Lubuklinggau membawakan Cerita Asal Mula Danau Raye. Juara II, Resti Meli dari SMPN 2 Banding Agung, OKU Selatan, membawakan Cerita Legenda Danau Ranau. Lalu juara III, Iren dari SMPN 2 Lubuklinggau membawakan cerita Burung Puyuh dan Baginda Raja.

Lomba tutur ini memang telah usai, namun setiap tahun terus digelar. Beberapa guru pendamping menyesalkan kurangnya sosialisasi kegiatan sehingga mereka tak punya kesempatan mempersiapkan anak didiknya. Nila, guru pendamping dari SMPN 10 Palembang menuturkan bahwa informasi lomba baru mereka terima dua hari sebelum perlombaan. Sehingga, utusan yang dikirim belum terseleksi dengan tepat. ”Beda misalnya kalau informasi sudah diterima jauh-jauh hari,” katanya menyesalkan kurangnya informasi kegiatan tersebut.
Pihak panitia sendiri menyatakan bahwa informasi ke Dinas Pendidikan kabupaten/kota sudah disampaikan sebulan sebelumnya. Kalaupun terlambat diterima, birokrasi di Diknas kabupaten/kota yang mungkin terlalu njelimet. (sh/muhamad nasir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar